Undang-Undang Nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani bisa melindungi petani tembakau dari para tengkulak dan pihak lain. “Tidak diperlukan RUU Pertembakauan, sudah cukup UU 19 tahun 2013,” kata Elfarisna, dosen Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), dalam seminar nasional di Universitas Muhammadiyah Jakarta di Tangerang Selatan, Banten.
Berbagai penelitian lapangan yang juga dipaparkan pada seminar ini menunjukkan bahwa petani mengalami kesulitan terkait dengan tata niaga tembakau. Pasar tembakau yang bersifat monopsoni, memunculkan beberapa persoalan. Petani tidak bisa langsung menjual kepada pabrik, namun harus melalui tengkulak, grader dan pedagang besar. Pada persoalan harga, Petani tidak pernah tahu bagaimana grader menentukan harga daun tembakau sehingga posisi tawar petani berada pada posisi yang lemah.
Harga tembakau berlapis-lapis tergantung dari kualitas daun tembakau dari terbawah hingga teratas antara Rp 10.000 hingga Rp 70.000 per kilogram. Bahkan ada yang hingga harga anjlok pada Rp 4.000.
Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menetapkan RUU Pertembakauan masuk dalam daftar program legislasi tahun 2014. Polemik terhadap kebijakan tembakau terus bergulir. Bagi para penentangnya, RUU ini dinilai tak sesuai prosedur. RUU ini lolos prolegnas lewat jalur cepat, lantaran belum ada naskah akademik, sehingga terlihat janggal.
Kejanggalan inilah yang disoroti oleh Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT). Kartono Muhammad, Dewan Penasihat Komnas PT bahkan menuding RUU Pertembakauan sarat pesanan. Tak cuma itu, RUU tersebut berpotensi membatalkan kebijakan perlindungan kesehatan masyarakat terhadap bahaya zat adiktif yang ada di tembakau. "Jika RUU Pertembakauan sampai diterbitkan, maka akan mengabaikan upaya perlindungan kesehatan masyarakat dari bahaya tembakau," kata Kartono.