Mengapa terjadi Perang Batak?

Batak merupakan nama kawasan sekaligus nama suku, Suku Batak. Ada beberapa kelompok Batak misalnya ada Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Mandailing, dan Batak Pakpak. Sekarang masyarakat Batak tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Mereka banyak yang bergerak dan berperan di bidang hukum. Secara historis-sosiologis masyarakat Batak menarik untuk dikaji. Secara sosiologis kita mengenal bagaimana struktur masyarakat Batak itu.

Basis masyarakat Batak sebenarnya berada di daerah-daerah kompleks perkampungan yang disebut dengan huta. Apa itu Huta??  Huta adalah bentuk kesatuan ikatan-ikatan kampung yang dalam berbagai aspek kehidupan berdiri sendiri-sendiri. Setiap kesatuan huta didiami oleh satu ikatan kekerabatan yang disebut marga. Dalam strukturnya, di atas huta atau gabungan dari beberapa huta terbentuk horja dan gabungan dari beberapa horja terbentuk bius. Kesatuan dari beberapa bius itu terbentuklah satu wilayah kerajaan. Kerajaan masyarakat Batak yang dipimpin oleh Raja Sisingamangaraja, pusat pemerintahannya ada di Bakkara. Sejak tahun 1870 yang menjadi raja adalah Patuan Bosar Ompu Pulo Batu yang bergelar Sisingamangaraja XII. Pada tahun 1878 Raja Sisingamangaraja XII angkat senjata memimpin rakyat Batak untuk melawan Belanda.

Perlu diketahui bahwa setelah Perang Padri berakhir, Belanda terus meluaskan daerah pengaruhnya. Belanda mulai memasuki tanah Batak seperti Mandailing, Angkola, Padang Lawas, Sipirok bahkan sampai Tapanuli. Hal ini jelas merupakan ancaman serius bagi kekuasaan Raja Batak, Sisingamangaraja XII. Masuknya dominasi Belanda ke tanah Batak ini juga disertai dengan penyebaran agama Kristen. Penyebaran agama Kristen ini ditentang oleh Sisingamangaraja XII karena dikhawatirkan perkembangan agama Kristen itu akan menghilangkan tatanan tradisional dan bentuk kesatuan negeri yang telah ada secara turun temurun. Untuk menghalangi proses Kristenisasi ini, pada tahun 1877 Raja Sisingamangaraja XII berkampanye keliling ke daerah-daerah untuk menghimbau agar masyarakat mengusir para zending yang memaksakan agama Kristen kepada penduduk. Masuknya pengaruh Belanda ini juga akan mengancam kelestarian tradisi dan adat asli orang-orang Batak. Akibat kampanye Raja Singamangaraja XII telah menimbulkan ekses pengusiran para zending. Bahkan ada penyerbuan dan pembakaran terhadap pos-pos zending di Silindung. Kejadian ini telah memicu kemarahan Belanda dan dengan alasan melindungi para zending, Pada tanggal 8 Januari 1878 Belanda mengirim pasukan untuk menduduki Silindung. Pecahlah Perang Batak.
Alasan untuk melindungi para Zending tentu alasan yang dibuat-buat Belanda. Karena yang jelas Belanda menduduki Silindung sebagai langkah awal untuk memasuki tanah Batak yang merupakan wilayah kekuasaan Raja Sisingamangaraja XII. Belanda ingin menguasai seluruh tanah Batak. Kali pertama pasukan Belanda yang dipimpin oleh Kapten Schelten menuju Bahal Batu. Rakyat Batak di bawah pimpinan langsung Raja Sisingamangaraja XII melakukan perlawanan terhadap gerakan pasukan Belanda di Bahal Batu. Dalam menghadapi perang melawan Belanda ini rakyat Batak sudah menyiapkan benteng pertahanan seperti benteng alam yang terdapat di dataran tinggi Toba dan Silindung. Di samping itu, dikembangkan benteng buatan yang ada di perkampungan. Setiap kelompok kampung dibentuk empat persegi dengan pagar keliling terbuat dari tanah dan batu. Di luar tembok ditanami bambu berduri dan di sebelah luarnya lagi dibuat parit keliling yang cukup dalam. Pintu masuk dibuat hanya beberapa buah dengan ukuran sempit.

Pertempuran pertama terjadi di Bahal Batu. Sisingamangaraja XII dengan pasukannya berusaha memberikan perlawanan sekuat tenaga. Tetapi nampaknya kekuatan pasukan Batak tidak seimbang dengan kekuatan tentara Belanda, sehingga pasukan Sisingamangaraja XII ini harus ditarik mundur. Akibatnya justru pertempuran merembet ke daerah lain, misalnya sampai di Butar. Karena dengan gerakan mundur tadi, pasukan Sisingamangaraja XII juga melakukan penyerangan pada pos-pos Belanda yang lain.

Perang Batak ini semakin meluas ke daerah-daerah lain. Setelah berhasil menggagalkan berbagai serangan dari pasukan Sisingamangaraja XII, Belanda mulai bergerak ke Bakkara. Bakkara merupakan benteng dan istana Kerajaan Sisingamangaraja. Dengan jumlah pasukan yang cukup besar Belanda mulai mengepung Bakkara. Letnan Kitchner menyerang dari arah selatan, Chelter mendesak dari sebelah timur, sementara Van den Bergh mengepung dari arah barat. Beberapa komandan tempur Belanda berusaha memasuki benteng Bakkara, tetapi selalu dapat dihalau dengan lemparan batu oleh para pejuang Batak. Akhirnya benteng dan Istana Bakkara dihujani tembakan-tembakan yang begitu gencar, sehingga benteng itu dapat diduduki Belanda. Sisingamangaraja dan sisa pasukannya berhasil meloloskan diri dan menyingkir ke daerah Paranginan di bagian selatan Danau Toba. Belanda terus memburu Sisingamangaraja. Sisingamangaraja kemudian menyingkir ke Lintung. Belanda terus mengejar Sisingamangaraja terus bergerak ke Tambunan, Lagu Boti, dan terus ke Baligie. Dengan kekuatan pasukannya, Belanda dapat menguasai tempat-tempat itu semua, sehingga semua daerah di sekitar Danau Toba sudah dikuasai Belanda.

Sisingamangaraja XII dengan sisa pasukannya bergerak menuju Huta Puong. Pada Juli tahun 1889 Sisingamangaraja XII kembali angkat senjata melawan ekspedisi Belanda. Di Huta Puong ini pasukan Sisingamangaraja XII bertahan cukup lama. Tetapi pada tanggal 4 September 1899 Huta Puong juga jatuh ke tangan Belanda. Sisingamangaraja XII kemudian membuat pertahanan di Pakpak dan Dairi. Pasukan Belanda di bawah komando van Daden mengadakan gerakan sapu bersih terhadap kantong-kantong pertahanan dari Aceh sampai tanah Gayo, termasuk yang ada di tanah Batak . Tahun 1907 pasukan Belanda di bawah komando Hans Christoffel memfokuskan untuk menangkap Sisingamangaraja XII. Sisingamangaraja XII berhasil dikepung rapat di daerah segitiga Barus, Sidikalang, dan Singkel. Dalam pengepungan ini Belanda menggunakan cara licik yakni menangkap Boru Sagala, istri Sisingamangaraja XII dan dua anaknya.

Dengan beban psikologis yang berat Sisingamangaraja XII tetap bertahan, tidak mau menyerah. Akhirnya pada tanggal 17 Juni 1907 siang pasukan Belanda dikerahkan untuk menangkap Sisingamangaraja XII di pos pertahanannya di Aik Sibulbulon di daerah Dairi. Dalam keadaan terdesak, Sisingamangaraja XII dengan putera-puteranya tetap bertahan dan melakukan perlawanan sekuat tenaga. Tetapi dalam pertempuran itu Sisingamangaraja XII tertembak mati. Begitu juga putrinya Lopian dan dua orang puteranya Sutan Nagari dan Patuan. Dengan demikian berakhirlah Perang Batak.
LihatTutupKomentar