Berakhirnya Orde Baru dan Lahirnya Reformasi, Peristiwa-Peristiwa Politik Penting Pada Masa Orde Baru, Tri Tuntutan Rakyat (Tritura), Surat Perintah Sebelas Maret, Sidang Umum MPRS, Nawaksara, Politik Luar Negeri, Pemilihan Umum, Sidang MPR Tahun 1973, Langkah-langkah pelaksanaan politik luar negeri bebas dan aktif pada masa Orde Baru.
Orde baru berkuasa selama 32 tahun, hal ini tentu bukan waktu yang pendek. Lamanya kekuasaan yang dipegang mengakibatkan banyak terjadi penyelewengan. Antara lain munculnya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Oleh karena itu berbagai elemen masyarakat melakukan demonstrasi-demonstrasi menuntut kepada pemerintah untuk membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya.
Akan tetapi pemerintah tidak segera mengambil tindakan yang tegas terhadap PKI yang telah melakukan pengkhianatan terhadap bangsa dan negara.
Apalagi kondisi ekonomi yang memburuk, harga-harga membumbung tinggi sehingga menambah penderitaan rakyat.
Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya kesatuan-kesatuan aksi. Pada tanggal 25 Oktober 1965 terbentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).
Selanjutnya diikuti oleh kesatuan- kesatuan aksi yang lain, misalnya Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), dan Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI).
Ketika gelombang demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI semakin keras pemerintah tidak segera mengambil tindakan.
Oleh karena itu setelah melakukan pembicaraan dengan beberapa anggota kabinet dan perwira ABRI di istana Bogor pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Sukarno akhirnya menyetujui memberikan perintah kepada Letnan Jenderal Suharto sebagai Panglima Angkatan Darat dan Pangkopkamtib untuk memulihkan keadaan dan wibawa pemerintah.
Surat mandat ini terkenal dengan nama Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar).
Untuk memenuhi permintaan MPRS tersebut maka Presiden Sukarno menyampaikan amanatnya pada tanggal 22 Juni 1966 yang berjudul Nawaksara (sembilan pasal).
Amanat tersebut oleh MPRS dipandang tidak memenuhi harapan rakyat karena tidak memuat secara jelas kebijaksanaan Presiden/Mandataris MPRS mengenai peristiwa G 30 S /PKI serta kemerosotan ekonomi dan moral. Oleh karena itu MPRS meminta kepada Presiden untuk melengkapi Nawaksara tersebut.
Pada tanggal 10 Januari 1967 Presiden Soekarno memberikan pelengkap Nawaksara. Akan tetapi isinya juga tidak memuaskan banyak pihak.
Oleh karena itu DPRGR mengajukan resolusi dan memorandum tanggal 9 Februari 1967 menolak Nawaksara berikut pelengkapnya.
Selanjutnya DPR-GR mengusulkan kepada MPRS agar mengadakan Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS dan mengangkat Pejabat Presiden.
Pada tanggal 22 Februari 1967 Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada pengemban Ketetapan MPRS No. IX, Jenderal Soeharto.
Peristiwa penyerahan kekuasaan yang dilakukan atas prakarsa Presiden Soekarno ini merupakan peristiwa penting dalam upaya mengatasi situasi konflik pada waktu itu. Penyerahan kekuasaan ini ternyata mendapat tanggapan yang positif dari masyarakat umum dan ABRI.
Oleh karena itu Orde Baru bertekad untuk untuk mengoreksi bentukbentuk penyelewengan politik luar negeri Indonesia pada masa Orde Lama.
Politik luar negeri yang memihak kepada salah satu blok dinyatakan salah oleh MPRS (kemudian MPR). Indonesia harus kembali ke politik luar negeri yang bebas dan aktif serta tidak memencilkan diri.
Sebagai landasan kebijakan politik luar negeri Orde Baru telah ditetapkan dalam Tap No. XII/ MPRS / 1966.
Menurut rumusan yang telah ditetapkan MPRS, maka jelaslah bahwa politik luar negeri RI secara keseluruhan mengabdikan diri kepada kepentingan nasional.
Sesuai dengan kepentingan nasional, maka politik luar negeri RI yang bebas dan aktif tidak dibenarkan memihak kepada salah satu blok ideologi yang ada.
Namun bukanlah politik yang netral, tetapi suatu politik luar negeri yang tidak mengikat diri pada salah satu blok ataupun pakta militer.
(1) Menghentikan politik konfrontasi dengan Malaysia setelah ditandatanganinya persetujuan untuk menormalisasi hubungan bilateral Indonesia-Malaysia pada tanggal 11 Agustus 1966.
Selanjutnya sejak 31 Agustus 1967 kedua pemerintah telah membuka hubungan diplomatik pada tingkat Kedutaan Besar.
(2) Indonesia kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 28 September 1966 setelah meniggalkan PBB sejak 1 Januari 1965. Sebab selama menjadi anggota badan dunia, yakni sejak 1950-1964, Indonesia telah menarik banyak manfaatnya.
(3) Indonesia ikut memprakarsai terbentuknya sebuah organisasi kerja sama regional di kawasan Asia Tenggara yang disebut Association of South East Asian Nations (ASEAN) pada tanggal 8 Agustus 1967.
Dalam sistim distrik ini partai-partai harus memperebutkan perwakilan yang disediakan untuk sesuatu daerah.
Suara yang terkumpul di suatu daerah tidak dapat dijumlahkan dengan suatu partai itu yang terkumpul di daerah lain.
Pemilu tahun 1977 diikuti oleh 10 kontestan, yakni PKRI, NU, Parmusi, Parkindo, Murba, PNI, Perti, IPKI, dan Golkar. Dalam pemilu kali ini dimenangkan oleh Golkar.
Pemilu berikutnya dilaksanakan pada tanggal 2 Mei 1977 yang kali ini diikuti oleh 3 organisasi peserta pemilu, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Selanjutnya pemilu-pemilu di Indonesia selama Orde Baru selalu dimenangkan oleh Golongan Karya.
Selanjutnya MPR ini mengadakan sidang pada bulan Maret 1973 yang menghasilkan beberapa keputusan di antaranya sebagai berikut.
Baca Juga : Pemberontakan G 30 S/PKI dan Cara Penumpasannya
Orde baru berkuasa selama 32 tahun, hal ini tentu bukan waktu yang pendek. Lamanya kekuasaan yang dipegang mengakibatkan banyak terjadi penyelewengan. Antara lain munculnya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Peristiwa-Peristiwa Politik Penting Pada Masa Orde Baru
1. Tritura (Tri Tuntutan Rakyat)
Aksi yang dilakukan oleh Gerakan 30 September segera diketahui oleh masyarakat bahwa PKI terlibat di dalamnya.Oleh karena itu berbagai elemen masyarakat melakukan demonstrasi-demonstrasi menuntut kepada pemerintah untuk membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya.
Akan tetapi pemerintah tidak segera mengambil tindakan yang tegas terhadap PKI yang telah melakukan pengkhianatan terhadap bangsa dan negara.
Apalagi kondisi ekonomi yang memburuk, harga-harga membumbung tinggi sehingga menambah penderitaan rakyat.
Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya kesatuan-kesatuan aksi. Pada tanggal 25 Oktober 1965 terbentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).
Selanjutnya diikuti oleh kesatuan- kesatuan aksi yang lain, misalnya Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), dan Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI).
Ketika gelombang demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI semakin keras pemerintah tidak segera mengambil tindakan.
Tri Tuntutan Rakyat (Tritura).
Oleh karena itu pada tanggal 10 Januari 1966 KAMI dan KAPPI memelopori kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila mendatangi DPR- GR menuntut Tiga Tuntutan Hati Nurani Rakyat yang terkenal dengan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura).Adapun Tri Tuntutan Rakyat itu adalah sebagai berikut.
- Pembubaran PKI.
- Pembersihan kabinet dari unsurunsur G 30 S / PKI.
- Penurunan harga/perbaikan ekonomi.
2. Surat Perintah Sebelas Maret
Aksi untuk menentang terhadap G 30 S /PKI semakin meluas menyebabkan pemerintah merasa tertekan.Oleh karena itu setelah melakukan pembicaraan dengan beberapa anggota kabinet dan perwira ABRI di istana Bogor pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Sukarno akhirnya menyetujui memberikan perintah kepada Letnan Jenderal Suharto sebagai Panglima Angkatan Darat dan Pangkopkamtib untuk memulihkan keadaan dan wibawa pemerintah.
Surat mandat ini terkenal dengan nama Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar).
3. Sidang Umum MPRS
Sidang Umum IV MPRS yang diselenggarakan pada tanggal 17 Juni 1966 telah menghasilkan beberapa ketetapan yang dapat memperkokoh tegaknya Orde Baru antara lain sebagai berikut.- Ketetapan MPRS No. IX tentang Pengukuhan Surat Perintah Sebelas Maret.
- Ketetapan MPRS No. XXV tentang Pembubaran PKI dan ormasormasnya serta larangan penyebaran ajaran Marxisme- Komunisme di Indonesia.
- Ketetapan MPRS No. XXIII tentang Pembaruan Landasan Kebijakan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan.
- Ketetapan MPRS No. XIII tentang Pembentukan Kabinet Ampera yang ditugaskan kepada Pengemban Tap MPRS No. IX.
4. Nawaksara
MPRS meminta pertanggungjawaban terhadap Presiden Sukarno dalam Sidang Umum MPRS 1966 atas terjadinya pemberontakan G30 S/ PKI, kemerosotan ekonomi dan moral.Untuk memenuhi permintaan MPRS tersebut maka Presiden Sukarno menyampaikan amanatnya pada tanggal 22 Juni 1966 yang berjudul Nawaksara (sembilan pasal).
Amanat tersebut oleh MPRS dipandang tidak memenuhi harapan rakyat karena tidak memuat secara jelas kebijaksanaan Presiden/Mandataris MPRS mengenai peristiwa G 30 S /PKI serta kemerosotan ekonomi dan moral. Oleh karena itu MPRS meminta kepada Presiden untuk melengkapi Nawaksara tersebut.
Pada tanggal 10 Januari 1967 Presiden Soekarno memberikan pelengkap Nawaksara. Akan tetapi isinya juga tidak memuaskan banyak pihak.
Oleh karena itu DPRGR mengajukan resolusi dan memorandum tanggal 9 Februari 1967 menolak Nawaksara berikut pelengkapnya.
Selanjutnya DPR-GR mengusulkan kepada MPRS agar mengadakan Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS dan mengangkat Pejabat Presiden.
Pada tanggal 22 Februari 1967 Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada pengemban Ketetapan MPRS No. IX, Jenderal Soeharto.
Peristiwa penyerahan kekuasaan yang dilakukan atas prakarsa Presiden Soekarno ini merupakan peristiwa penting dalam upaya mengatasi situasi konflik pada waktu itu. Penyerahan kekuasaan ini ternyata mendapat tanggapan yang positif dari masyarakat umum dan ABRI.
5. Politik Luar Negeri
Politik luar negeri Indonesia pada masa yang condong kepada salah satu blok pada masa Demokrasi Terpimpin merupakan pengalaman pahit bagi bangsa Indonesia.Oleh karena itu Orde Baru bertekad untuk untuk mengoreksi bentukbentuk penyelewengan politik luar negeri Indonesia pada masa Orde Lama.
Politik luar negeri yang memihak kepada salah satu blok dinyatakan salah oleh MPRS (kemudian MPR). Indonesia harus kembali ke politik luar negeri yang bebas dan aktif serta tidak memencilkan diri.
Sebagai landasan kebijakan politik luar negeri Orde Baru telah ditetapkan dalam Tap No. XII/ MPRS / 1966.
Menurut rumusan yang telah ditetapkan MPRS, maka jelaslah bahwa politik luar negeri RI secara keseluruhan mengabdikan diri kepada kepentingan nasional.
Sesuai dengan kepentingan nasional, maka politik luar negeri RI yang bebas dan aktif tidak dibenarkan memihak kepada salah satu blok ideologi yang ada.
Namun bukanlah politik yang netral, tetapi suatu politik luar negeri yang tidak mengikat diri pada salah satu blok ataupun pakta militer.
Langkah-langkah pelaksanaan politik luar negeri bebas dan aktif pada masa Orde Baru
Sebagai wujud dari pelaksanaan politik luar negeri bebas dan aktif pada masa Orde Baru melakukan langkah- langkah sebagai berikut.(1) Menghentikan politik konfrontasi dengan Malaysia setelah ditandatanganinya persetujuan untuk menormalisasi hubungan bilateral Indonesia-Malaysia pada tanggal 11 Agustus 1966.
Selanjutnya sejak 31 Agustus 1967 kedua pemerintah telah membuka hubungan diplomatik pada tingkat Kedutaan Besar.
(2) Indonesia kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 28 September 1966 setelah meniggalkan PBB sejak 1 Januari 1965. Sebab selama menjadi anggota badan dunia, yakni sejak 1950-1964, Indonesia telah menarik banyak manfaatnya.
(3) Indonesia ikut memprakarsai terbentuknya sebuah organisasi kerja sama regional di kawasan Asia Tenggara yang disebut Association of South East Asian Nations (ASEAN) pada tanggal 8 Agustus 1967.
6. Pemilihan Umum
Pemilihan Umum pada masa Orde Baru pertama kali dilaksanakan pada tanggal 3 Juli 1971. Pemilu pada waktu itu berbeda dengan pemilu tahun 1955 karena telah menggunakan sistem distrik bukan sistem proporsional.Dalam sistim distrik ini partai-partai harus memperebutkan perwakilan yang disediakan untuk sesuatu daerah.
Suara yang terkumpul di suatu daerah tidak dapat dijumlahkan dengan suatu partai itu yang terkumpul di daerah lain.
Pemilu tahun 1977 diikuti oleh 10 kontestan, yakni PKRI, NU, Parmusi, Parkindo, Murba, PNI, Perti, IPKI, dan Golkar. Dalam pemilu kali ini dimenangkan oleh Golkar.
Pemilu berikutnya dilaksanakan pada tanggal 2 Mei 1977 yang kali ini diikuti oleh 3 organisasi peserta pemilu, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Selanjutnya pemilu-pemilu di Indonesia selama Orde Baru selalu dimenangkan oleh Golongan Karya.
7. Sidang MPR Tahun 1973
Dengan Pemilu I 1971, maka untuk pertama kali RI mempunyai MPR tetap, yakni bukan MPRS. Pimpinan MPR dan DPR hasil Pemilu I adalah Idham Chalid.Selanjutnya MPR ini mengadakan sidang pada bulan Maret 1973 yang menghasilkan beberapa keputusan di antaranya sebagai berikut.
- Tap IV /MPR /73 tentang Garis- garid Besar Haluan Negara sebagai penggantiManipol.
- Tap IX /MPR /73 tentang pemilihan Jenderal Soeharto sebagai Presiden RI.
- Tap XI /MPR /73 tentang pemilihan Sri Sultan Hamengkubuwana IX sebagai Wakil Presiden RI.
Baca Juga : Pemberontakan G 30 S/PKI dan Cara Penumpasannya